![]() |
Akhirnya Tidak Perlu Menunggu Senja #1 |
“Assalamualaikum” Sapaku sambil memasuki sekertariat
masjid
“Waalaikumsalam”
“Saya ingin mendaftar TPA dewasa
Ustadz”
***
Kamu keluar dari masjid beberapa saat setelah aku
keluar, entah apa yang menundaku untuk segera pulang. Kamu mengambil sepedah milikmu
yang ada disamping sepedaku. Aku berada dijauh dibelakangmu. Dan memang aku
harus menjaga jarak darimu.
Aku mengambil sepedaku setelah kamu
mengambil sepeda milikmu. Kamu tidak melihatku sama sekali, melirikpun tidak .
Entah apa yang kamu pikirkan saat itu. Hanya diam dan menunduk sambil mendorong
sepedamu menjauhi aku.
“ mbak Nia, besok tahsin lagi
kan?” Tanyamu dengan ramah
“ Insya Allah mbak Widya, Aku
duluan yah soalnya adikku ingin dijemput” Jawab Nia padamu
Nia pergi meninggalkanmu yang
masih berjalan sambil mendorong sepeda keluar halaman masjid, seketika itu
senyum diwajahmu berkurang, bahkan hampir lenyap untuk kulihat. Kamu masih
tertunduk saja dan bersembunyi, seperti matahari yang mulai bersembunyi dibalik
awan yang rendah.
Aku berjalan dibelakangmu sambil
mendorong sepeda, sekarang lebih dekat. Tetapi tetap tidak bisa untuk
menyentuhmu. Kamu sudah mengenal aku dari perkenalan beberapa minggu yang lalu,
itupun secara tidak langsung. Ustadz Ahmad yang menyampaikannya.
“Mbak kuliah dimana?”
Entah angin apa yang memasukiku
hingga tanpa sengaja aku mengucapkan suatu pertanyaan padamu. Aku hanya
melihatmu sedetik setelah aku berbicara. Hanya ingin memastikamu saja, kamu
mendengar atau tidak. Setelah itu aku kembali tidak melihat wajahmu yang
terlindung dari kerudung jika kulirik.
Aku semakin gugup dengan langkahmu
yang semakin lebar, apa yang salah denganku yang mengucapkan pertanyaan yang
biasa diucapkan untuk mengetahui identitasmu. Aku hanya tahu namamu, tapi aku tidak
tahu dimana kamu berkuliah, semester berapa?, atau alamatmu dimana, setelah itu
aku tidak bertanya lagi.
Langkahmu semakin cepat sambil
mendorong sepeda seakan-akan tidak ada seseorang yang mengajakmu berbicara atau
seseorang yang kamu kenal untuk diajak berinteraksi. Kamu juga seperti tidak
pernah mendengar kata-kataku yang tadi baru kuucapkan. Kamu menaiki sepeda dan
mengayuhnya tentunya dengan wajah yang datar, dan terus bersembunyi. Aku hanya
bisa melihatmu sambil berjalan dan akhirnya kamu menghilang dipersimpangan.
Kamu pergi begitu saja tanpa
menyapaku, akupun mengayuh sepedahku dengan pasti, agar segera sampai di kost.
Wajahmu masih saja melintas di depan mataku, meski wajahmu belum pernah kulihat
secara sempurna. Entahlah, aku hanya bisa menunduk ketika aku sudah tidak mampu
menahan sesuatu yang menyesakkan.
“tit”
“ Rasyid, duluan ya. Assalamualaikum” Sapa Dani mendahuluiku
“iya, Waalaikumsalam”
***
Aku mendatangimu berandamu,
seakan-akan menyapa siapa saja yang ada diberanda . Tidak ada sekat yang aku
lihat seperti sore itu. Aku bisa mengenalmu lebih dekat tanpa takut senja
menghadang. Aku mampu merasakan dirimu benar-benar hadir disisiku dan aku mampu
mengenalmu lebih dekat.
Pertanyaanku yang pernah aku ucapkan
dahulu pun terjawab sudah, seluruhnya. Walaupun aku tidak tahu persis. Tidak
ada langkahmu yang cepat atau persimpangan jalan yang dapat memisahkan
kebersamaan kita begitu saja, menyisakan suatu keheranan yang tidak mampu
terpecah walau esoknya kamu hadir kembali. Sekarang telah berbeda, aku
menemukan jalan bagaimana aku mengenalmu.
Disini aku berada didekatmu,
beberapa langkah aku telah menemuimu. Cukup berdiam dan bergerak sedikit saja.
Dengan mudahnya memperhatikanmu yang selalu tidak ada episode khusus denganku.
Aku berada didekatmu dan tidak ada persimpangan
jalan atau senja yang menyekat kita atau jilbabmu yang tidak sopan mengganggu
mataku menatapmu, tetapi aku tetap tidak mampu melihat wajahmu. Tidak ada
wajahmu yang biasa kau sembunyikan, yang selalu kamu palingkan dariku.
Disini wajahmu kamu tutup sama
sekali, kamu tidak memberi aku kesempatan kecil untuk mengenali wajahmu seperti
senja didepan rumah Tuhan. Hanya emosi yang aku rasa sama. Walau aku tidak tahu
persis, karena memang sebenarnya aku tidak pernah menatapmu dengan sempurna.
Tetapi aku tahu kamu mengganti wajahmu dengan garis warna-warni yang teratur
membentuk wajah seorang sholehah.
Hanya kata-katamu saja yang membuat
aku merasa berada didekatku. Tertulis manis dan mencerminkan hatimu. Entah kamu
mendapatkannya dari mana, semua itu terasa nyaman ketika mataku mendengarnya.
Jari-jariku terus ternganga tidak mampu menjawab setiap kata-katamu yang
menarik. Aku hanya mampu tersenyum dan menyentuh kata-katamu dengan jempolku
yang biru.
***
“Mengapa kamu tidak bisa memberiku kesempatan untuk
berbicara atau melihatmu lebih dekat sore itu ?”*
Tanyakan saja, akan saya ceritakan bagian mana yang kamu inginkan.Aku dengan senang hati membaca komentarmu. 😊
Tidak ada komentar:
Posting Komentar