Sabtu, 22 Juli 2017

Akhirnya Tidak Perlu Menunggu Senja #1


Senja, Malam, Lampu
Akhirnya Tidak Perlu Menunggu Senja #1
“Assalamualaikum” Sapaku sambil memasuki sekertariat masjid

            “Waalaikumsalam”

            “Saya ingin mendaftar TPA dewasa Ustadz”

***

Kamu keluar dari masjid beberapa saat setelah aku keluar, entah apa yang menundaku untuk segera pulang. Kamu mengambil sepedah milikmu yang ada disamping sepedaku. Aku berada dijauh dibelakangmu. Dan memang aku harus menjaga jarak darimu.

            Aku mengambil sepedaku setelah kamu mengambil sepeda milikmu. Kamu tidak melihatku sama sekali, melirikpun tidak . Entah apa yang kamu pikirkan saat itu. Hanya diam dan menunduk sambil mendorong sepedamu menjauhi aku.

            “ mbak Nia, besok tahsin lagi kan?” Tanyamu dengan ramah

            “ Insya Allah mbak Widya, Aku duluan yah soalnya adikku ingin dijemput” Jawab Nia padamu

            Nia pergi meninggalkanmu yang masih berjalan sambil mendorong sepeda keluar halaman masjid, seketika itu senyum diwajahmu berkurang, bahkan hampir lenyap untuk kulihat. Kamu masih tertunduk saja dan bersembunyi, seperti matahari yang mulai bersembunyi dibalik awan yang rendah.

            Aku berjalan dibelakangmu sambil mendorong sepeda, sekarang lebih dekat. Tetapi tetap tidak bisa untuk menyentuhmu. Kamu sudah mengenal aku dari perkenalan beberapa minggu yang lalu, itupun secara tidak langsung. Ustadz Ahmad yang menyampaikannya.

            “Mbak kuliah dimana?”
  
          Entah angin apa yang memasukiku hingga tanpa sengaja aku mengucapkan suatu pertanyaan padamu. Aku hanya melihatmu sedetik setelah aku berbicara. Hanya ingin memastikamu saja, kamu mendengar atau tidak. Setelah itu aku kembali tidak melihat wajahmu yang terlindung dari kerudung jika kulirik.

            Aku semakin gugup dengan langkahmu yang semakin lebar, apa yang salah denganku yang mengucapkan pertanyaan yang biasa diucapkan untuk mengetahui identitasmu. Aku hanya tahu namamu, tapi aku tidak tahu dimana kamu berkuliah, semester berapa?, atau alamatmu dimana, setelah itu aku tidak bertanya lagi.

            Langkahmu semakin cepat sambil mendorong sepeda seakan-akan tidak ada seseorang yang mengajakmu berbicara atau seseorang yang kamu kenal untuk diajak berinteraksi. Kamu juga seperti tidak pernah mendengar kata-kataku yang tadi baru kuucapkan. Kamu menaiki sepeda dan mengayuhnya tentunya dengan wajah yang datar, dan terus bersembunyi. Aku hanya bisa melihatmu sambil berjalan dan akhirnya kamu menghilang dipersimpangan.

            Kamu pergi begitu saja tanpa menyapaku, akupun mengayuh sepedahku dengan pasti, agar segera sampai di kost. Wajahmu masih saja melintas di depan mataku, meski wajahmu belum pernah kulihat secara sempurna. Entahlah, aku hanya bisa menunduk ketika aku sudah tidak mampu menahan sesuatu yang menyesakkan.

“tit”

“ Rasyid, duluan ya. Assalamualaikum” Sapa Dani mendahuluiku

“iya, Waalaikumsalam”

***

            Aku mendatangimu berandamu, seakan-akan menyapa siapa saja yang ada diberanda . Tidak ada sekat yang aku lihat seperti sore itu. Aku bisa mengenalmu lebih dekat tanpa takut senja menghadang. Aku mampu merasakan dirimu benar-benar hadir disisiku dan aku mampu mengenalmu lebih dekat.

            Pertanyaanku yang pernah aku ucapkan dahulu pun terjawab sudah, seluruhnya. Walaupun aku tidak tahu persis. Tidak ada langkahmu yang cepat atau persimpangan jalan yang dapat memisahkan kebersamaan kita begitu saja, menyisakan suatu keheranan yang tidak mampu terpecah walau esoknya kamu hadir kembali. Sekarang telah berbeda, aku menemukan jalan bagaimana aku mengenalmu.

            Disini aku berada didekatmu, beberapa langkah aku telah menemuimu. Cukup berdiam dan bergerak sedikit saja. Dengan mudahnya memperhatikanmu yang selalu tidak ada episode khusus denganku.

Aku berada didekatmu dan tidak ada persimpangan jalan atau senja yang menyekat kita atau jilbabmu yang tidak sopan mengganggu mataku menatapmu, tetapi aku tetap tidak mampu melihat wajahmu. Tidak ada wajahmu yang biasa kau sembunyikan, yang selalu kamu palingkan dariku.

            Disini wajahmu kamu tutup sama sekali, kamu tidak memberi aku kesempatan kecil untuk mengenali wajahmu seperti senja didepan rumah Tuhan. Hanya emosi yang aku rasa sama. Walau aku tidak tahu persis, karena memang sebenarnya aku tidak pernah menatapmu dengan sempurna. Tetapi aku tahu kamu mengganti wajahmu dengan garis warna-warni yang teratur membentuk wajah seorang sholehah.

            Hanya kata-katamu saja yang membuat aku merasa berada didekatku. Tertulis manis dan mencerminkan hatimu. Entah kamu mendapatkannya dari mana, semua itu terasa nyaman ketika mataku mendengarnya. Jari-jariku terus ternganga tidak mampu menjawab setiap kata-katamu yang menarik. Aku hanya mampu tersenyum dan menyentuh kata-katamu dengan jempolku yang biru.

***


“Mengapa kamu tidak bisa memberiku kesempatan untuk berbicara atau melihatmu lebih dekat sore itu ?”*


Tanyakan saja, akan saya ceritakan bagian mana yang kamu inginkan.Aku dengan senang hati membaca komentarmu. 😊

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Artikel Menarik